Media

Berita, pengumuman dan informasi terkini tentang Grup APRIL

 Bagikan  Email  Cetak

Katanya, apa yang kita makan berdampak pada perubahan iklim. Aneh memang, tapi begitulah kenyataanya.

Tahukah kalian proses produksi makanan menyumbang seperempat emisi gas rumah kaca dunia? Salah satu cara paling efektif untuk menguranginya adalah dengan menerapkan gaya hidup berkelanjutan demi mengurangi dampak negatif pada lingkungan. Misalnya, dengan mengonsumsi makanan lokal yang diketahui dapat mengurangi jejak karbon hingga 7 persen.

Nah, dengan kita bijak memilih makanan, kita sudah membantu menjaga kelestarian lingkungan loh. Tak hanya melestarikan kuliner lokal yang dikenal kaya rasa, menikmati “pangan lokal” berarti efisien dalam mengurangi jarak tempuh transportasi sekaligus mendukung usaha di sekitar kita tinggal. Yang pada akhirnya, akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia

Yang masih kerap terjadi, kebanyakan dari kita tidak menyadari bahwa jarak tempuh untuk mengantar makanan dari satu tempat ke konsumen sangat berdampak pada jejak karbon yang dihasilkan. Semakin jauh jarak antar makanan, semakin besar juga jejak karbon kita.

Karena itulah, konsumsi pangan berkelanjutan dan penerapan prinsip memakan pangan lokal semakin dianjurkan sebagai bagian dari solusi jangka panjang untuk meminimalkan risiko dan dampak perubahan iklim

Tanpa kita sadari, keputusan memili hbahan baku dari setiap makanan yang kita taruh di piring berperan penting loh untuk masa depan generasi kita!

Pangan Berkelanjutan adalah Masa Depan

Ya, mengonsumsi pangan lokal akan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan petani dan pasar domestik. Aksi kita ini dapat mengangkat kelangsungan hidup usaha kecil dan menengah (UMKM) sekaligus memberi tambahan pendapatan bagi masyarakat setempat.

Namun, satu pertanyaan mungkin akan terpintas dalam pikiran kalian: seberapa lokal pangan yang dimaksud untuk dapat dianggap mampu meminimalkan risiko perubahan iklim?

Banyak yang mengatakan "lokal" dalam "pangan lokal" berarti makanan yang kita konsumsi berasal dari tempat dengan jarak kurang dari 100 km (setara Jakarta-Bandung) dari dapur kita. Meskipun ada yang berpendapat bahwa jarak tersebut dapat diperpanjang hingga sejauh 643 km (setara dengan Jakarta-Solo).

Namun, secara umum "pangan lokal" dapat diartikan sebagai menerapkan kebiasaan mencari bahan makanan dari provinsi, pulau, negara bagian, atau wilayah yang sama dengan tempat kita tinggal.

Contoh lainnya, perusahaan berbasis eco-social, Fam Organic (pencetus Halaman Organik di Bandung) melihat “pangan lokal” sebagai dukungan menciptakan ekosistem sehat melalui promosi pertanian organik mandiri, yang menghasilkan pangan bermutu tinggi dan bergizi. Dengan kata lain, pangan lokal juga dapat diartikan sebagai mencoba menanam bahan makanan sendiri dari rumah.

Dengan menggunakan metode ramah lingkungan untuk menanam sayur dan buah-buahan di rumah sendiri, fokus kegiatan ini adalah membangun kesadaran lebih besar tentang manfaat gerakan “dari kebun ke meja”.

Hal kecil berdampak besar

Kabar baiknya, minat bertani dan berkebun mandiri di kalangan penduduk kota meningkat akhir-akhir ini. Sayangnya, tren ini dipicu oleh pembatasan kegiatan masyarakat imbas pandemi yang tengah terjadi, bukan karena komitmen mendorong pangan berkelanjutan.

Namun, hal ini menjadi langkah yang baik dan perlu terus digalakkan. Kita sekarang tahu manfaat menanam makanan secara mandiri dapat mengurangi risiko perubahan iklim. Dan seharusnya lebih banyak lagi masyarakat yang dapat bergabung untuk memberikan sumbangkan aktif dalam mengurangi jejak karbon dengan mendukung kampanye “dari kebun ke meja”.

Seperti yang dilakukan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang memasukkan upaya berkelanjutan serupa ke dalam program internalnya. Melalui Program Kebun Warga, lahan tidak terpakai di sekitar perumahan pabrik ditanami buah-buahan dan sayur mayur. Para "petani", yang antusias, juga dibekali dengan perkakas, peralatan dan bibit, yang diperlukan untuk menunjang kegiatan berkebun mereka.

 

Perusahaan juga mendorong masyarakat mengurangi sisa makanan dengan menjalankan kampanye di media sosial lewat #HabiskanMakananmu dan #BerkahPiringKosong. Kampanye itu bertujuan untuk membantu meminimalkan peningkatan volume sampah makanan. Menurut data terbaru, masyarakat Indonesia menyia-nyiakan sekitar 300 kilogram makanan per orang setiap tahun, yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pemboros makanan terbesar di dunia.

Artikel Lainnya

Boy Sastra, Penjinak Api dari Pangkalan ...
Boy Sastra, Penjinak Api dari Pangkalan ... Memiliki pekerjaan yang berisiko tinggi, merupakan hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Boy Sastra.  Pria berumur 27 tahun ini berprofesi sebagai pe...
Kelola Lahan Gambut, Terapkan Prinsip Ke...
Kelola Lahan Gambut, Terapkan Prinsip Ke... Banjir di Indonesia begitu kerap terjadi dan mendatangkan kerugian yang besar. Namun, Adibtya Asyhari percaya bahwa banjir bisa diatasi dengan strategi keberlan...
Life at APRIL: Klub Sepeda
Life at APRIL: Klub Sepeda Berawal pada tahun 2016, beberapa karyawan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) mulai menyadari bahwa mereka memiliki kebiasaan yang sama – bersepeda ke kantor se...
 Bagikan  Email  Cetak