Media

Berita, pengumuman dan informasi terkini tentang Grup APRIL

 Bagikan  Email  Cetak

Pernahkah kalian membayangkan tinggal di sebuah gubuk yang berada di tengah-tengah perkebunan sawit, tak ada aliran listrik maupun saluran air bersih, dan semua serba terbatas?

Kesulitan tersebut pernah dirasakan Ni’mah, seorang pengrajin batik kelahiran Brebes, Jawa Tengah, yang kini tinggal di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia.

“Dulu saya tinggal di sebuah perkebunan sawit di Pangkalan Kerinci. Di sana cuma ada 7 keluarga. Tidak ada listrik, jalannya masih tanah. Kalau hujan, becek dan berlumpur. 

“Kalau saya mau ke pasar harus jalan kaki 5 kilometer,” Ni’mah memulai ceritanya.

Menjalani profesi sebagai seorang buruh lepas di pelabuhan selama bertahun-tahun, membuat Indra Gunawan merasa tak ada perkembangan dalam hidupnya. Selain karena jarang bertemu dengan keluarga, ia juga merasa belum mampu memberikan yang terbaik kepada anak dan istrinya.

“Kurang lebih selama 6 tahun saya bekerja sebagai buruh di pelabuhan, dari tahun 2006 hingga tahun 2012,” kata Indra. “Penghasilan saya sebagai seorang buruh juga tergolong sangat kecil,” lanjut Indra.

Hal ini membuat Indra memutuskan untuk beralih profesi dari seorang buruh menjadi seorang petani hortikultura di Kerinci Kanan, Provinsi Riau.

“Alasan pertama saya beralih profesi karena saya ingin dekat dengan keluarga dan masyarakat sekitar saya,” ucap Indra. “Yang kedua, enaknya menjadi petani itu tidak ada yang mengatur kita,” lanjut Indra.

Musibah kebakaran yang menimpa Helmi pada tahun 2008 silam, telah mengajarkannya banyak hal. Kebakaran tersebut diakibatkan oleh ulah Helmi yang membuka lahan dengan cara membakar. Helmi pun dituntut untuk mengganti rugi sebesar Rp 20 juta oleh tetangganya, yang lahan perkebunannya ikut terbakar.

“Saya dituntut ganti rugi, dan setelah membayar ganti rugi itu, saya tidak pernah lagi membakar lahan lagi, saya kapok. Gara-gara itu, saya dan istri harus menjual emas untuk biaya ganti rugi,” kata Helmi sambal ia menceritakan tentang masa lalunya.

Helmi merupakan masyarakat Desa Kuala Tolam, Riau, Indonesia. Dahulu, ia adalah satu dari sekian banyak orang yang menerapkan praktik pembebasan lahan dengan cara membakar. Belajar dari pengalaman buruknya tersebut, Helmi pun memutuskan untuk tidak lagi membakar lahan.

Mungkin sebelumnya tidak ada yang pernah menyangka, seorang remaja dari daerah terpencil mampu meraih mimpinya untuk mengenyam pendidikan tinggi dan memberikan kontribusinya bagi perkembangan teknologi negeri ini.

Hal tersebut berhasil dilakukan oleh Efendi, seorang pria asal Pulau Padang, sebuah pulau terpencil yang berada di kawasan Kepulauan Meranti, Riau, Indonesia. Efendi merupakan pelajar pertama asal Pulau Padang yang menerima beasiswa dari Grup APRIL.

“Saya awalnya tidak menyangka bisa sampai di tahap ini, karena sebelumnya tidak pernah ada pelajar dari Pulau Padang yang menerima beasiswa dari APRIL,” kata Efendi.

Terlebih lagi, Efendi berasal dari keluarga yang perekonomiannya rendah, semakin mengubur impian Efendi untuk bisa merasakan bangku kuliah. Keluarga Efendi juga sempat mengalami masa sulit ketika ayahnya terpaksa harus “dirumahkan” dari pekerjaannya.

 Bagikan  Email  Cetak